KOMODO (HEWAN LANGKA)
Komodo, atau yang selengkapnya disebut biawak komodo (Varanus komodoensis[1]),
adalah spesies
kadal
terbesar di dunia yang hidup di pulau Komodo,
Rinca,
Flores,
Gili Motang,
dan Gili Dasami
di Nusa Tenggara.[2]
Biawak ini oleh penduduk asli pulau Komodo juga disebut dengan nama setempat ora.[3]Termasuk
anggota famili biawak
Varanidae,
dan klad
Toxicofera,
komodo merupakan kadal terbesar di dunia, dengan rata-rata panjang 2-3 m. Ukurannya yang besar
ini berhubungan dengan gejala gigantisme
pulau, yakni kecenderungan meraksasanya tubuh hewan-hewan tertentu
yang hidup di pulau kecil terkait dengan tidak adanya mamalia
karnivora
di pulau tempat hidup komodo, dan laju metabolisme
komodo yang kecil.[4][5]
Karena besar tubuhnya, kadal ini menduduki posisi predator
puncak yang mendominasi ekosistem tempatnya hidup. Komodo ditemukan oleh peneliti
barat tahun 1910. Tubuhnya yang besar dan reputasinya yang mengerikan membuat
mereka populer di kebun binatang. Habitat komodo di alam bebas telah menyusut
akibat aktivitas manusia dan karenanya IUCN memasukkan komodo
sebagai spesies yang rentan terhadap kepunahan. Biawak besar ini
kini dilindungi di bawah peraturan pemerintah Indonesia dan sebuah taman
nasional, yaitu Taman Nasional Komodo, didirikan untuk
melindungi mereka.
Anatomi dan morfologi
Di alam bebas, komodo dewasa biasanya memiliki berat sekitar
70 kilogram,[7]
namun komodo yang dipelihara di penangkaran sering memiliki bobot tubuh yang
lebih besar. Spesimen liar terbesar yang pernah ada memiliki panjang sebesar
3.13 meter dan berat sekitar 166 kilogram, termasuk berat makanan yang belum
dicerna di dalam perutnya.[8]
Meski komodo tercatat sebagai kadal terbesar yang masih hidup, namun bukan yang
terpanjang. Reputasi ini dipegang oleh biawak
Papua (Varanus salvadorii). Komodo
memiliki ekor yang sama panjang dengan tubuhnya, dan sekitar 60 buah gigi yang
bergerigi tajam sepanjang sekitar 2.5 cm, yang kerap diganti.[10] Air liur komodo sering kali bercampur sedikit darah karena
giginya hampir seluruhnya dilapisi jaringan
gingiva dan jaringan ini tercabik selama
makan.[11] Kondisi ini menciptakan lingkungan pertumbuhan yang ideal
untuk bakteri mematikan yang hidup di mulut mereka. Komodo memiliki lidah
yang panjang, berwarna kuning dan bercabang.[8] Komodo jantan lebih besar daripada komodo betina, dengan
warna kulit dari abu-abu gelap sampai merah batu bata, sementara komodo betina
lebih berwarna hijau buah zaitun, dan memiliki potongan kecil kuning pada
tenggorokannya. Komodo muda lebih berwarna, dengan warna kuning, hijau dan
putih pada latar belakang hitam.
Fisiologi
Komodo tak memiliki indera
pendengaran, meski memiliki lubang telinga.[13]
Biawak ini mampu melihat hingga sejauh 300 m, namun karena retinanya hanya
memiliki sel kerucut,
hewan ini agaknya tak begitu baik melihat di kegelapan malam. Komodo mampu
membedakan warna namun tidak seberapa mampu membedakan obyek yang tak bergerak.
Komodo menggunakan lidahnya untuk mendeteksi rasa dan mencium stimuli,
seperti reptil lainnya, dengan indera vomeronasal
memanfaatkan organ Jacobson, suatu kemampuan yang dapat
membantu navigasi pada saat gelap.[15]
Dengan bantuan angin dan kebiasaannya menelengkan kepalanya ke kanan dan ke
kiri ketika berjalan, komodo dapat mendeteksi keberadaan daging bangkai sejauh
4—9.5 kilometer.[11]
Lubang hidung komodo bukan merupakan alat penciuman yang baik karena mereka
tidak memiliki sekat rongga badan.[16]
Hewan ini tidak memiliki indra perasa di lidahnya, hanya ada sedikit
ujung-ujung saraf perasa di bagian belakang tenggorokan. Sisik-sisik komodo,
beberapa di antaranya diperkuat dengan tulang, memiliki sensor yang terhubung
dengan saraf yang memfasilitasi rangsang sentuhan. Sisik-sisik di sekitar
telinga, bibir, dagu dan tapak kaki memiliki tiga sensor rangsangan atau lebih.
Komodo pernah dianggap tuli ketika penelitian mendapatkan bahwa bisikan, suara
yang meningkat dan teriakan ternyata tidak mengakibatkan agitasi (gangguan) pada
komodo liar. Hal ini terbantah kemudian ketika karyawan Kebun Binatang London ZSL, Joan Proctor
melatih biawak untuk keluar makan dengan suaranya, bahkan juga ketika ia tidak
terlihat oleh si biawak.[17]
Ekologi, perilaku dan cara hidup
Komodo secara alami hanya
ditemui di Indonesia, di pulau Komodo, Flores dan Rinca dan beberapa pulau
lainnya di Nusa Tenggara.[18]
Hidup di padang rumput kering terbuka, sabana dan
hutan tropis pada ketinggian rendah, biawak ini menyukai tempat panas dan
kering ini. Mereka aktif pada siang hari, walaupun kadang-kadang aktif juga
pada malam hari. Komodo adalah binatang yang penyendiri, berkumpul bersama
hanya pada saat makan dan berkembang biak. Reptil besar ini dapat berlari cepat
hingga 20 kilometer per jam pada jarak yang pendek; berenang dengan sangat baik
dan mampu menyelam sedalam 4.5 meter;[19]
serta pandai memanjat pohon menggunakan cakar mereka yang kuat.[7]
Untuk menangkap mangsa yang berada di luar jangkauannya, komodo dapat berdiri
dengan kaki belakangnya dan menggunakan ekornya sebagai penunjang.[17]
Dengan bertambahnya umur, komodo lebih menggunakan cakarnya sebagai senjata,
karena ukuran tubuhnya yang besar menyulitkannya memanjat pohon.
Untuk tempat berlindung,
komodo menggali lubang selebar 1–3 meter dengan tungkai depan dan cakarnya yang
kuat.[20]
Karena besar tubuhnya dan kebiasaan tidur di dalam lubang, komodo dapat menjaga
panas tubuhnya selama malam hari dan mengurangi waktu berjemur pada pagi
selanjutnya.[21]
Komodo umumnya berburu pada siang hingga sore hari, tetapi tetap berteduh
selama bagian hari yang terpanas.[22]
Tempat-tempat sembunyi komodo ini biasanya berada di daerah gumuk atau perbukitan dengan semilir
angin laut, terbuka dari vegetasi, dan di sana-sini berserak kotoran hewan penghuninya.
Tempat ini umumnya juga merupakan lokasi yang strategis untuk menyergap rusa.
Perilaku makan
Komodo adalah hewan karnivora.
Walaupun mereka kebanyakan makan daging bangkai,[4]
penelitian menunjukkan bahwa mereka juga berburu mangsa hidup dengan cara
mengendap-endap diikuti dengan serangan tiba-tiba terhadap korbannya. Ketika
mangsa itu tiba di dekat tempat sembunyi komodo, hewan ini segera menyerangnya
pada sisi bawah tubuh atau tenggorokan.[11]
Komodo dapat menemukan mangsanya dengan menggunakan penciumannya yang tajam,
yang dapat menemukan binatang mati atau sekarat pada jarak hingga 9,5
kilometer.[11]Komodo
muda di Rinca yang makan bangkai kerbau. Reptil purba ini makan dengan cara
mencabik potongan besar daging dan lalu menelannya bulat-bulat sementara
tungkai depannya menahan tubuh mangsanya. Untuk mangsa berukuran kecil hingga
sebesar kambing,
bisa jadi dagingnya dihabiskan sekali telan. Isi perut mangsa yang berupa
tumbuhan biasanya dibiarkan tak disentuh.
Air liur yang kemerahan dan keluar dalam
jumlah banyak amat membantu komodo dalam menelan mangsanya. Meski demikian,
proses menelan tetap memakan waktu yang panjang; 15–20 menit diperlukan untuk
menelan seekor kambing. Komodo kadang-kadang berusaha mempercepat proses
menelan itu dengan menekankan daging bangkai mangsanya ke sebatang pohon, agar karkas itu
bisa masuk melewati kerongkongannya. Dan kadang-kadang pula upaya menekan itu
begitu keras sehingga pohon itu menjadi rebah. Untuk menghindari agar tak
tercekik ketika menelan, komodo bernapas melalui sebuah saluran kecil di bawah
lidah, yang berhubungan langsung dengan paru-parunya.[11]
Rahangnya yang dapat dikembangkan dengan leluasa, tengkoraknya yang lentur, dan
lambungnya yang dapat melar luar biasa memungkinkan komodo menyantap mangsa
yang besar, hingga sebesar 80% bobot tubuhnya sendiri dalam satu kali makan.[6][24]
Setelah makan, komodo berjalan
menyeret tubuhnya yang kekenyangan mencari sinar matahari untuk berjemur dan
mempercepat proses pencernaan. Kalau tidak, makanan itu dapat membusuk dalam
perutnya dan meracuni tubuhnya sendiri. Dikarenakan metabolismenya
yang lamban, komodo besar dapat bertahan dengan hanya makan 12 kali setahun
atau kira-kira sekali sebulan. Setelah daging mangsanya tercerna, komodo
memuntahkan sisa-sisa tanduk, rambut dan gigi mangsanya, dalam
gumpalan-gumpalan bercampur dengan lendir berbau busuk, gumpalan mana dikenal
sebagai gastric pellet. Setelah itu komodo menyapukan wajahnya ke tanah
atau ke semak-semak untuk membersihkan sisa-sisa lendir yang masih menempel,
perilaku yang menimbulkan dugaan bahwa komodo, sebagaimana halnya manusia,
tidak menyukai bau ludahnya sendiri.
Dalam kumpulan, komodo yang berukuran paling
besar biasanya makan lebih dahulu, diikuti yang berukuran lebih kecil menurut hirarki.
Jantan terbesar menunjukkan dominansinya melalui bahasa tubuh dan desisannya; yang
disambut dengan bahasa yang sama oleh jantan-jantan lain yang lebih kecil untuk
memperlihatkan pengakuannya atas kekuasaan itu. Komodo-komodo yang berukuran sama
mungkin akan berkelahi mengadu kekuatan, dengan cara semacam gulat biawak, hingga salah
satunya mengaku kalah dan mundur; meskipun adakalanya yang kalah dapat terbunuh
dalam perkelahian dan dimangsa oleh si pemenang. Mangsa
biawak komodo amat bervariasi, mencakup aneka avertebrata,
reptil lain (termasuk pula komodo yang bertubuh lebih kecil), burung dan
telurnya, mamalia
kecil, monyet,
babi hutan,
kambing,
rusa, kuda, dan kerbau. Komodo
muda memangsa serangga,
telur, cecak,
dan mamalia kecil.[4][24]
Kadang-kadang komodo juga memangsa manusia
dan mayat yang digali dari lubang makam yang dangkal.[17]
Kebiasaan ini menyebabkan penduduk pulau Komodo menghindari tanah berpasir dan
memilih mengubur jenazah di tanah liat, serta menutupi atasnya dengan batu-batu
agar tak dapat digali komodo.
Ada pula yang menduga bahwa
komodo berevolusi untuk memangsa gajah kerdil
Stegodon
yang pernah hidup di Flores.[25]
Komodo juga pernah teramati ketika mengejutkan dan menakuti rusa-rusa betina
yang tengah hamil, dengan harapan agar keguguran dan bangkai janinnya dapat
dimangsa, suatu perilaku yang juga didapati pada predator besar di Afrika. Karena
tak memiliki sekat rongga
badan, komodo tak dapat menghirup air atau menjilati air untuk minum
(seperti kucing).
Alih-alih, komodo ‘mencedok’ air dengan seluruh mulutnya, lalu mengangkat
kepalanya agar air mengalir masuk ke perutnya.
Bisa dan bakteri
Pada akhir 2005, peneliti dari
Universitas Melbourne, Australia, menyimpulkan bahwa biawak
Perentie (Varanus giganteus) dan biawak-biawak lainnya, serta
kadal-kadal dari suku
Agamidae, kemungkinan memiliki semacam bisa. Selama ini diketahui
bahwa luka-luka akibat gigitan hewan-hewan ini sangat rawan infeksi
karena adanya bakteria yang hidup di mulut kadal-kadal ini, akan tetapi para
peneliti ini menunjukkan bahwa efek langsung yang muncul pada luka-luka gigitan
itu disebabkan oleh masuknya bisa berkekuatan menengah. Para peneliti ini telah
mengamati luka-luka di tangan manusia akibat gigitan biawak Varanus varius,
V. scalaris dan komodo, dan semuanya memperlihatkan reaksi yang serupa:
bengkak secara cepat dalam beberapa menit, gangguan lokal dalam pembekuan
darah, rasa sakit yang mencekam hingga ke siku, dengan beberapa gejala yang
bertahan hingga beberapa jam kemudian. Sebuah kelenjar yang berisi bisa yang
amat beracun telah berhasil diambil dari mulut seekor komodo di Kebun
Binatang Singapura, dan meyakinkan para peneliti akan kandungan bisa
yang dipunyai komodo[27].
Di samping mengandung bisa,
air liur komodo juga memiliki aneka bakteri
mematikan di dalamnya; lebih dari 28 bakteri Gram-negatif
dan 29 Gram-positif
telah diisolasi dari air liur ini.[28]
Bakteri-bakteri tersebut menyebabkan septikemia pada
korbannya. Jika gigitan komodo tidak langsung membunuh mangsa dan mangsa itu
dapat melarikan diri, umumnya mangsa yang sial ini akan mati dalam waktu satu
minggu akibat infeksi. Bakteri yang paling mematikan di air liur komodo agaknya
adalah bakteri Pasteurella multocida yang sangat
mematikan; diketahui melalui percobaan dengan tikus laboratorium.[29]
Karena komodo nampaknya kebal terhadap mikrobanya sendiri, banyak penelitian
dilakukan untuk mencari molekul antibakteri dengan harapan dapat digunakan
untuk pengobatan manusia.
Reproduksi
Musim kawin terjadi antara
bulan Mei
dan Agustus,
dan telur komodo diletakkan pada bulan September.[19]
Selama periode ini, komodo jantan bertempur untuk mempertahankan betina dan
teritorinya dengan cara "bergulat" dengan jantan lainnya sambil
berdiri di atas kaki belakangnya. Komodo yang kalah akan terjatuh dan
"terkunci" ke tanah. Kedua komodo jantan itu dapat muntah atau buang
air besar ketika bersiap untuk bertempur. Pemenang pertarungan akan
menjentikkan lidah panjangnya pada tubuh si betina untuk melihat penerimaan
sang betina.[6]
Komodo betina bersifat antagonis dan melawan dengan gigi dan cakar mereka selama awal
fase berpasangan. Selanjutnya, jantan harus sepenuhnya mengendalikan betina
selama bersetubuh agar tidak terluka. Perilaku lain yang diperlihatkan selama
proses ini adalah jantan menggosokkan dagu mereka pada si betina, garukan keras
di atas punggung dan menjilat. Kopulasi
terjadi ketika jantan memasukan salah satu hemipenisnya ke kloaka
betina.[14]
Komodo dapat bersifat monogamus dan membentuk "pasangan," suatu sifat yang
langka untuk kadal. Betina akan meletakkan telurnya di lubang tanah, mengorek
tebing bukit atau gundukan sarang burung gosong berkaki-jingga yang telah
ditinggalkan. Komodo lebih suka menyimpan telur-telurnya di sarang yang telah
ditinggalkan.[32]
Sebuah sarang komodo rata-rata berisi 20 telur yang akan menetas setelah 7–8
bulan.[17]
Betina berbaring di atas telur-telur itu untuk mengerami dan melindunginya
sampai menetas di sekitar bulan April, pada akhir musim hujan ketika terdapat sangat banyak
serangga. Proses penetasan adalah usaha melelahkan untuk anak komodo, yang
keluar dari cangkang telur setelah menyobeknya dengan gigi telur yang akan
tanggal setelah pekerjaan berat ini selesai. Setelah berhasil menyobek kulit
telur, bayi komodo dapat berbaring di cangkang telur mereka untuk beberapa jam
sebelum memulai menggali keluar sarang mereka. Ketika menetas, bayi-bayi ini
tak seberapa berdaya dan dapat dimangsa oleh predator.
Komodo muda menghabiskan
tahun-tahun pertamanya di atas pohon, tempat mereka relatif aman dari predator,
termasuk dari komodo dewasa yang kanibal, yang sekitar 10% dari makanannya
adalah biawak-biawak muda yang berhasil diburu.[17][33]
Komodo membutuhkan tiga sampai lima tahun untuk menjadi dewasa, dan dapat hidup
lebih dari 50 tahun. Di samping proses reproduksi yang normal, terdapat
beberapa contoh kasus komodo betina menghasilkan anak tanpa kehadiran pejantan
(partenogenesis),
fenomena yang juga diketahui muncul pada beberapa spesies reptil lainnya
seperti pada Cnemidophorus.[7]
Partenogenesis
Sungai, seekor komodo di Kebun Binatang London, telah bertelur pada
awal tahun 2006
setelah dipisah dari jantan selama lebih dari dua tahun. Ilmuwan pada awalnya
mengira bahwa komodo ini dapat menyimpan sperma beberapa
lama hasil dari perkawinan dengan komodo jantan pada waktu sebelumnya, suatu
adaptasi yang dikenal dengan istilah superfekundasi. Pada
tanggal 20 Desember
2006, dilaporkan bahwa
Flora, komodo yang hidup di Kebun Binatang Chester, Inggris
adalah komodo kedua yang diketahui menghasilkan telur tanpa fertilisasi
(pembuahan dari perkawinan). Ia mengeluarkan 11 telur, dan 7 di antaranya
berhasil menetas. Peneliti dari Universitas Liverpool di Inggris utara
melakukan tes genetika pada tiga telur yang gagal menetas setelah dipindah ke
inkubator, dan terbukti bahwa Flora tidak memiliki kontak fisik dengan komodo
jantan. Setelah temuan yang mengejutkan ini, pengujian lalu dilakukan terhadap
telur-telur Sungai dan mendapatkan bahwa telur-telur itupun dihasilkan tanpa
pembuahan dari luar.
Komodo memiliki sistem penentuan seks
kromosomal ZW, bukan sistem penentuan seks XY. Keturunan Flora
yang berkelamin jantan, menunjukkan terjadinya beberapa hal. Yalah bahwa telur
Flora yang tidak dibuahi bersifat haploid pada mulanya dan kemudian menggandakan kromosomnya
sendiri menjadi diploid;
dan bahwa ia tidak menghasilkan telur diploid, sebagaimana bisa terjadi jika
salah satu proses pembelahan-reduksi meiosis
pada ovariumnya
gagal. Ketika komodo betina (memiliki kromosom seks ZW) menghasilkan anak
dengan cara ini, ia mewariskan hanya salah satu dari pasangan-pasangan kromosom
yang dipunyainya, termasuk satu dari dua kromosom seksnya. Satu set kromosom
tunggal ini kemudian diduplikasi dalam telur, yang berkembang secara
partenogenetika. Telur yang menerima kromosom Z akan menjadi ZZ (jantan); dan
yang menerima kromosom W akan menjadi WW dan gagal untuk berkembang. Diduga
bahwa adaptasi reproduktif semacam ini memungkinkan seekor hewan betina
memasuki sebuah relung ekologi yang terisolasi (seperti halnya
pulau) dan dengan cara partenogenesis kemudian menghasilkan keturunan jantan.
Melalui perkawinan dengan anaknya itu pada saat yang berikutnya hewan-hewan ini
dapat membentuk populasi yang bereproduksi secara seksual, karena dapat
menghasilkan keturunan jantan dan betina.[37]
Meskipun adaptasi ini bersifat menguntungkan, kebun binatang perlu waspada
kerena partenogenesis mungkin dapat mengurangi keragaman genetika.
Pada 31 Januari 2008, Kebun
Binatang Sedgwick County di Wichita, Kansas menjadi
kebun binatang yang pertama kali mendokumentasi partenogenesis pada komodo di
Amerika. Kebun binatang ini memiliki dua komodo betina dewasa, yang salah satu
di antaranya menghasilkan 17 butir telur pada 19-20 Mei 2007. Hanya dua telur
yang diinkubasi dan ditetaskan karena persoalan ketersediaan ruang; yang
pertama menetas pada 31 Januari 2008, diikuti oleh yang kedua pada 1 Februari.
Kedua anak komodo itu berkelamin jantan.
Evolusi
Perkembangan evolusi komodo
dimulai dengan marga
Varanus,
yang muncul di Asia
sekitar 40 juta tahun yang silam dan lalu bermigrasi ke Australia.
Sekitar 15 juta tahun yang lalu, pertemuan lempeng benua Australia dan Asia Tenggara
memungkinkan para biawak bergerak menuju wilayah yang dikenal sebagai Indonesia
sekarang. Komodo diyakini berevolusi dari nenek-moyang Australianya pada
sekitar 4 juta tahun yang lampau, dan meluaskan wilayah persebarannya ke timur
hingga sejauh Timor.
Perubahan-perubahan tinggi muka laut semenjak zaman Es
telah menjadikan agihan komodo terbatas pada wilayah sebarannya yang sekarang.
Penemuan
Komodo pertama kali
didokumentasikan oleh orang Eropa pada tahun 1910. Namanya meluas setelah tahun 1912, ketika
Peter Ouwens, direktur Museum Zoologi di Bogor, menerbitkan paper
tentang komodo setelah menerima foto dan kulit reptil ini.[17][33]
Nantinya, komodo adalah faktor pendorong dilakukannya ekspedisi ke pulau Komodo
oleh W. Douglas Burden pada tahun 1926. Setelah kembali dengan 12 spesimen yang
diawetkan dan 2 ekor komodo hidup, ekspedisi ini memberikan inspirasi untuk
film King Kong tahun 1933.[42] W.
Douglas Burden adalah orang yang pertama memberikan nama "Komodo
dragon" kepada hewan ini.[22]
Tiga dari spesimen komodo yang diperolehnya dibentuk kembali menjadi hewan
pajangan dan hingga kini masih disimpan di Museum Sejarah Alam Amerika.[43]
Penelitian
Orang Belanda, karena
menyadari berkurangnya jumlah hewan ini di alam bebas, melarang perburuan
komodo dan membatasi jumlah hewan yang diambil untuk penelitian ilmiah.
Ekspedisi komodo terhenti semasa Perang Dunia
II, dan tak dilanjutkan sampai dengan tahun 1950an dan ‘60an tatkala
dilakukan penelitian-penelitian terhadap perilaku makan, reproduksi dan
temperatur tubuh komodo. Pada tahun-tahun itu, sebuah ekspedisi yang lain
dirancang untuk meneliti komodo dalam jangka panjang. Tugas ini jatuh ke tangan
keluarga Auffenberg, yang kemudian tinggal selama 11 bulan di Pulau Komodo pada
tahun 1969. Selama masa itu, Walter Auffenberg dan Putra Sastrawan sebagai
asistennya, berhasil menangkap dan menandai lebih dari 50 ekor komodo.[30]
Hasil ekspedisi ini ternyata sangat berpengaruh terhadap meningkatnya
penangkaran komodo.[2]
Penelitian-penelitian yang berikutnya kemudian memberikan gambaran yang lebih
terang dan jelas mengenai sifat-sifat alami komodo, sehingga para biolog
seperti halnya Claudio Ciofi dapat melanjutkan kajian yang lebih mendalam.
Konservasi
Biawak komodo merupakan
spesies yang rentan terhadap kepunahan, dan dikatagorikan sebagai spesies
Rentan dalam daftar IUCN Red List.[45]
Sekitar 4.000–5.000 ekor komodo diperkirakan masih hidup di alam liar. Populasi
ini terbatas menyebar di pulau-pulau Rinca (1.300 ekor), Gili Motang (100),
Gili Dasami (100), Komodo (1.700), dan Flores (mungkin sekitar 2.000 ekor).[2]
Meski demikian, ada keprihatinan mengenai populasi ini karena diperkirakan dari
semuanya itu hanya tinggal 350 ekor betina yang produktif dan dapat berbiak.[3]
Bertolak dari kekhawatiran ini, pada tahun 1980 Pemerintah Indonesia menetapkan
berdirinya Taman Nasional Komodo untuk melindungi
populasi komodo dan ekosistemnya di beberapa pulau termasuk Komodo, Rinca, dan
Padar.
Belakangan ditetapkan pula
Cagar Alam Wae Wuul dan Wolo Tado di Pulau Flores untuk membantu pelestarian
komodo.[44]
Namun pada sisi yang lain, ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa komodo,
setidaknya sebagian, telah terbiasa pada kehadiran manusia. Komodo-komodo ini
terbiasa diberi makan karkas hewan ternak, sebagai atraksi untuk menarik turis
pada beberapa lokasi kunjungan. Aktivitas vulkanis, gempa bumi,
kerusakan habitat, kebakaran (populasi komodo di Pulau Padar hampir punah
karena kebakaran alami[44]),[11]
berkurangnya mangsa, meningkatnya pariwisata, dan perburuan gelap; semuanya
menyumbang pada status rentan yang disandang komodo. CITES (the Convention
on International Trade in Endangered Species) telah menetapkan bahwa
perdagangan komodo, kulitnya, dan produk-produk lain dari hewan ini adalah
ilegal. Meskipun jarang terjadi, komodo diketahui dapat membunuh manusia. Pada
tanggal 4 Juni 2007, seekor komodo diketahui menyerang seorang anak laki-laki
berumur delapan tahun. Anak ini kemudian meninggal karena perdarahan berat dari
luka-lukanya. Ini adalah catatan pertama mengenai serangan yang berakibat
kematian pada 33 tahun terakhir.
Penangkaran
Telah semenjak lama komodo
menjadi tontonan yang menarik di berbagai kebun
binatang, terutama karena ukuran tubuh dan reputasinya yang
membuatnya begitu populer. Meski demikian hewan ini jarang dipunyai kebun
binatang, karena komodo rentan terhadap infeksi dan penyakit akibat parasit,
serta tak mudah berkembang biak. Komodo yang pertama dipertontonkan adalah pada
Kebun Binatang Smithsonian pada tahun
1934, namun hewan ini hanya bertahan hidup selama dua tahun. Upaya-upaya untuk
memelihara reptil ini terus dilanjutkan, namun usia binatang ini dalam
tangkaran tak begitu panjang, rata-rata hanya 5 tahun di kebun binatang
tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Walter Auffenberg di atas, yang
hasilnya kemudian diterbitkan sebagai buku The Behavioral Ecology of the
Komodo Monitor, pada akhirnya memungkinkan pemeliharaan dan pembiakan satwa
langka ini di penangkaran.
Telah teramati bahwa banyak
individu komodo yang dipelihara memperlihatkan perilaku yang jinak untuk jangka
waktu tertentu. Dilaporkan pada banyak kali kejadian, bahwa para pawang
berhasil membawa keluar komodo dari kandangnya untuk berinteraksi dengan
pengunjung, termasuk pula anak-anak di antaranya, tanpa akibat yang
membahayakan pengunjung. Komodo agaknya dapat mengenali orang satu persatu.
Ruston Hartdegen dari Kebun Binatang Dallas
melaporkan bahwa komodo-komodo yang dipeliharanya bereaksi berbeda apabila
berhadapan dengan pawang yang biasa memeliharanya, dengan pawang lain yang
kurang lebih sudah dikenal, atau dengan pawang yang sama sekali belum dikenal.
Penelitian terhadap komodo
peliharaan membuktikan bahwa hewan ini senang bermain. Suatu kajian mengenai
komodo yang mau mendorong sekop yang ditinggalkan oleh pawangnya, nyata-nyata
memperlihatkan bahwa hewan itu tertarik pada suara yang ditimbulkan sekop
ketika menggeser sepanjang permukaan yang berbatu. Seekor komodo betina muda di
Kebun Binatang Nasional di Washington,
D.C. senang meraih dan mengguncangkan aneka benda termasuk
patung-patung, kaleng-kaleng minuman, lingkaran plastik, dan selimut. Komodo
ini pun senang memasuk-masukkan kepalanya ke dalam kotak, sepatu, dan aneka
obyek lainnya. Komodo tersebut bukan tak bisa membedakan benda-benda tadi
dengan makanan; ia baru memakannya apabila benda-benda tadi dilumuri dengan
darah tikus. Perilaku bermain-main ini dapat diperbandingkan dengan perilaku
bermain mamalia. Catatan lain mengenai kesenangan bermain komodo didapat dari
Universitas Tennessee.
Seekor komodo muda yang diberi nama "Kraken" bermain dengan
gelang-gelang plastik, sepatu, ember, dan kaleng, dengan cara mendorongnya,
memukul-mukulnya, dan membawanya dengan mulutnya. Kraken memperlakukan
benda-benda itu berbeda dengan apa yang menjadi makanannya, mendorong Gordon
Burghardt –peneliti– menyimpulkan bahwa hewan-hewan ini telah mementahkan
pandangan bahwa permainan semacam itu adalah “perilaku predator
bermotif-pemangsaan”.
Komodo yang nampak jinak
sekalipun dapat berperilaku agresif secara tak terduga, khususnya apabila
teritorinya dilanggar oleh seseorang yang tak dikenalnya. Pada bulan Juni 2001,
serangan seekor komodo menimbulkan luka-luka serius pada Phil Bronstein—editor
eksekutif harian San Francisco Chronicle dan bekas
suami Sharon Stone,
seorang aktris Amerika terkenal—ketika ia memasuki kandang binatang itu atas
undangan pawangnya. Bronstein digigit komodo itu di kakinya yang telanjang,
setelah si pawang menyarankannya agar membuka sepatu putihnya, yang
dikhawatirkan bisa memancing perhatian si komodo. Meski pria itu berhasil
lolos, namun ia membutuhkan pembedahan untuk menyambung kembali tendon ototnya yang
terluka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar